Rabu, 01 Februari 2012

REFLEKSI PANGGILAN

“AKU DATANG UNTUK MELAYANI BUKAN UNTUK DI LAYANI"

(SEBUAH REFLEKSI AKHIR SEMESTER SEBAGAI SEORANG 
CALON IMAM KAME)


 AYUSTUS ERASMUS LIM


Tak terasa perjalanan panggilan hidup saya sebagai seorang calon imam Keuskupan Agung Merauke sudah memasuki semester yang ke VI (tingkat III). Pada tahap dan tingkat yang demikian tentunya ada banyak pengalaman suka dan duka yang dialami. Suka berarti pengalaman hidup yang dialami itu mendorong dan memotivasi panggilan hidup sebagai seorang calon imam sedangkan duka berarti ada pengalaman yang menghambat panggilan saya sebagai seorang calon imam. Namun pengalaman-pengalaman ini (baik suka maupun duka) menghantar saya pada sebuah pemahaman bahwa menjadi imam tidaklah semudah membalikkan telapak tangan melaian harus melewati berbagai tantangan baik yang menyenangkan maupun yang menyedihkan ataupun menyulitkan.


Selama ini, saya merasa bahwa tidak ada kesulitan besar yang menghambat panggilan saya baik dari pihak keluarga, teman-teman seperjuangan maupun relasi dengan lawan jenis. Tetapi terkadang muncul pemikiran dalam diri saya bahwa apakah situasi (persoalan pribadi) yang terjadi sementara ini di Seminari Tinggi Interdiosesan Yerusalem baru ini dapat menjamin kehidupan saya sebagai seorang imam kelak nanti? Secara jujur saya melihat bahwa kehidupan saya di tempat ini belumlah menjamin saya untuk menjadi imam. Saya sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menghiraukan situasi (persoalan pribadi) yang demikian tetapi tetap saja tidak bisa karena pengaruh situasi atau lingkungan sangat kuat sehingga bagaimanapun saya tetap terjerumus didalamnya. 


Hambatan terbesar yang selalu menghantui saya adalah keraguan untuk menjadi imam di masa depan karena saya berpikir bahwa situasi yang sekarang ini saya alami tidak akan menjamin saya untuk hidup menjadi seorang imam yang baik di masa depan. Saya tentunya bisa menjadi imam tetapi imam yang bagaimana itulah yang menjadi persoalan. Saya mengakui bahwa saat sekarang adalah saat yang tepat untuk mengatur diri sendiri tetapi hal ini hanya akan membuat saya untuk terus terjerumus terhadap apa yang saya inginkan saja.


 Seringkali saya berpikir bahwa walaupun situasi yang saya alami sekarang tidak membantu saya untuk menjadi imam yang baik kelak tetapi saya harus mengembangkan diri sesuai dengan apa yang menjadi ciri khas seminaris dan menunjukkan jati diri sebagai seorang calon imam. Sebagai manusia lemah seringkali saya jatuh pada hal-hal yang sebenarnya tidak pantas saya lakukan tetapi melalui kejatuhan yang saya alami itu mengajarkan kepada saya betapa pentingnya perjalanan hidup sebagai seorang calon imam.


Dalam refleksi ini, saya mengungkapkan pengalaman asistensi natal di paroki St. Mikhael Waris. Saya dan keenam teman berangkat dari Seminari kira-kira pukul 08.00 pagi dan tiba pukul 13.00. Perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan. Setibanya di paroki saya kaget karena kurangnya aktifvitas menyongsong natal (besoknya). Paroki yang terletak dipedalaman ini sangat sepi tidak sebanding dengan paroki-paroki lain yang pernah saya kunjungi selama hidup. Pastor paroki (P. Kris Bidi svd), menyambut kedantangan kami. Sambil beristiahat di depan pastoran beliau mengatakan “apa yang kamu lihat ini, begini sudah paroki kami”. Kemudian beliau menceritakan situasi kehidupan paroki yang menurut saya sangat susah menjadi pastor paroki ditempat yang demikian. Lanjutnya, beliau mengatakan bahwa saya sangat senang tinggal ditempat yang seperti ini.


Setelah makan siang, kami duduk santai didepan teras pastoran. Kemudian dengan nada kelakar saya mengatakan “teman-teman dengan melihat dan mengalami situasi yang seperti ini, mau tidak jadi imam?” ada yang mengatakan “lebih baik keluar dan nikah saja”, ada pula yang menjawab “saya senang dengan situasi seperti ini karena tidak ada tugas yang terlalu banyak untuk dikerjakan”. Situasi yang demikian membuat saya tidak mampu untuk memberikan sebuah jawaban. Dalam hati muncul berbagai pikiran dilema apakah saya harus tetap melanjutkan perjalanan hidup saya sebagai imam? Ataukah harus memutuskan perjalanan panggilan ini. Setelah berefleksi dalam hati, saya teringat akan tujuan kedatangan saya ke tanah Papua untuk menjadi imam. Motivasi awal untuk datang ke Papua adalah melayani orang orang terpencil/pedalaman. Oleh karena itu, apa yang saya alami ini telah menjadi kenyataan walaupun belum menjadi imam (Aku datang untuk melayani bukan untuk dilayani).
Hal terpenting yang saya petik dan pelajari dari pengalaman ini adalah berusaha untuk selalu setia menerima kenyataan dalam melaksanakan tugas walaupun harus mengalami kesedihan dan penderitaan. Pengalaman ini pula telah mengajarkan untuk selalu setia menghadapi kenyataan karena apa yang saya alami sekarang ini akan terulang lagi jika Tuhan menghendaki saya menjadi imam di Keuskupan Agung Merauke. Jika mengalami hal demikian di Keuskupan Agung Merauke maka tidak menjadi hal yang baru lagi buat saya, sesuai dengan motivasi datang Papua dengan perkataan Yesus “Aku datang bukan untuk melayani bukan untuk dilayani”. Singkatnya saya ingin mengatakan bahwa saya datang untuk menjadi imam di tanah Papua, oleh karena itu saya akan berusaha untuk menggapai keinginan saya ini walaupun Tuhan yang menentukan.

REFLEKSI

MAKNA PERTOBATAN BAGI SEORANG CALON IMAM
(AYUSTUS ERASMUS LIM)

Pertobatan seringkali kita mengartikannya sebagai tindakan menyesali dosa-dosa dan berbalik kepada Tuhan. Nabi Yunus merumuskan makna pertobatan itu juga sama. Ia berkata, “Haruslah semuanya, manusia dan ternak, berselubung kain kabung dan berseru dengan keras kepada Allah serta haruslah masing-masing berbalik dari tingkahlakunya yang jahat…” (Yun 3:8). Akan tetapi, Yesus memberi makna pertobatan secara lain. Bagi Yesus bertobat bukan saja menyesali dosa-dosa dan berbalik kepada Allah akan tetapi berubah. Makna demikian, bisa ditelusuri dari kata aslinya untuk istilah pertobatan itu yakni “metanoia” yang berarti berubah haluan.
Bagi seorang calon imam yang adalah pengikut Yesus Kristus pertobatan menjadi hal yang sangat fundamental bila dalam perjalanan hidupnya telah melukai Tuhan, Gereja dan sesama manusia. Seseorang (calon imam) dikatakan bertobat apabila mengalami perubahan 180ยบ dalam hidupnya. Dengan demikian, pertobatan yang dituntut oleh Yesus itu maknanya jauh lebih mendasar daripada hanya sekedar menyesali dosa-dosa. Pertobatan itu berarti sebuah kesediaan untuk mengubah cara berpikir, bertindak, merasakan dan bahkan sampai pada perubahan jalan hidup itu sendiri selaras dengan jalan hidup Tuhan, sehingga sebagai orang yang mengikuti jalanNya itu sungguh-sungguh menjadikan Yesus sebagai figur yang patut untuk diteladani. Yesus adalah figur bagi setiap orang secara khusus orang-orang yang dipanggil untuk mengikuti jalanNya.

Sebagai seorang calon imam, perubahan jalan hidup sebagai wujud pertobatan merupakan salah satu unsur terpenting dalam menggapai hidup sebagai seorang imam. Pertobatan menghantar seseorang (calon imam) untuk semakin dekat dengan Allah sekaligus meninggalkan hidup lama yang penuh dosa ataupu tindakan lainnya yang melenceng dari kebenaran dan memperoleh suatu hidup baru sesuai dengan kehendak Allah dalam hidup sehari-hari. Pertobatan seseorang (calon imam) merupakan salah satu jalan yang terbaik untuk memulihkan relasi dengan Allah kembali pada jalan Tuhan. Seperti yang dikatakan oleh Santo Paulus dalam suratnya di Roma "Sebab upah dosa ialah
maut; tetapi kasih karunia Allah ialah hidup yang kekal dalam Yesus Kristus,
Tuhan kita" (Rm 6:23). Perkataan ini menjadi bukti bahwa Allah selalu mengasihi manusia yang berdosa.
Pokok pewartaan utama Yesus Kristus adalah pertobatan. Pertobatan yang dimaksudkan adalah berbalik kepada Allah, perubahan hati, meninggalkan cara hidup yang  lama dan memulai suatu hidup yang baru. Dengan demikian seseorang (calon imam) yang telah melukai Tuhan, Gereja dan sesama dengan perbuatan dan tindakannya dan tidak bertobat maka hendaknya ia mencari jalan lain karena syarat utama mengikuti Yesus adalah pertobatan sebagaimana dialami oleh murid-muridNya yakni  Simon dan Andreas, lalu juga Yakobus dan Yohanes. Setelah  mendengarkan panggilan Yesus dan mereka percaya kepadaNya, lalu merekapun segera meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia.

Pertobatan merupakan syarat sukacita sejati dan menyiapkan seseorang (calon imam) untuk memperoleh keselamatan dalam Yesus Kristus. Oleh karena itu sebagai seorang calon imam bertobat adalah hal yang terpenting dan terutama "Pertobatan adalah syarat mutlak untuk keselamatan." Dalam kehidupan sebagai seorang kristiani, Gereja merupakan salah satu sarana untuk menghantar seseorang (calon imam) pada pertobatan yakni sakramen tobat. Sakramen tobat merupakan sarana pemulihan kembali hubungan manusia dengan Allah yang terputus karena dosa ataupun tindakan manusia lainnya yang melawan kehendak dan kebenaran Allah.

Sakramen tobat merupakan sarana utama untuk berdamai dengan Tuhan, menjalin hubungan mesra denganNya, serta menyadari indahnya hidup bersama dengan Tuhan. Sakramen ini juga merupakan suatu keharusan bagi mereka yang telah
memutuskan untuk kembali ke jalan yang benar yaitu jalan menuju kepada
keselamatan hidup. Dengan ini, semua orang Kristen terutama seorang
calon imam dibantu untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Di sinilah letak sukacita
orang Kristen sebab hidupnya sudah terarah kepada kehendak Allah yaitu bahwa semua orang (calon imam) yang percaya pada kehendak Allah  dipanggil kepada keselamatan kekal.

Seringkali jika seorang calon imam telah melakukan kesalahan yang melukai Tuhan, Gereja dan sesama maka ia merasa sedih dan merasa bersalah tetapi hal tersebut tidaklah menjadi  jaminan untuk memperoleh keselamatan. Keselamatan hanya akan diperoleh apabila mengakuinya dihadapan Tuhan melalui sakramen pertobatan. Atau keselamatan itu hanya terletak pada kemauaan kita (calon imam) yaitu dengan segenap hati datang pada Tuhan dan menyerahkan diri dengan sepenuh hati kepadaNya. Dan bukan itu saja, pertobatan harus disertai perubahan cara hidup dari manusia lama kepada manusia baru. Dengan perubahan tersebut, Allah yang maharahim akan menyongsong manusia dan menganugerahkan keselamtan kekal kepadanya, sebagaimana dikatakan Santa Theresia Lisieux dalam buku Otobiografi mengatakan "Saya mengetahui dengan pasti bahwa jika saya dengan sadar melakukan semua dosa yang dapat diperbuat oleh manusia, saya akan pergi dan menerjunkan diriku ke dalam pelukan Yesus dengan sebuah hati yang terluka oleh pertobatan, karena saya tahu betapa girang Ia ketika anak-Nya yang hilang kembali kepada-Nya."

Sebagai orang yang mengikuti Yesus untuk mewartakan kabar gembira kepada semua orang dalam hal ini calon imam, Yesus menghimbau agar sebagai pengikutNya tidak sibuk dengan diri sendiri, tetapi Dia mengajak kita (calon imam) untuk melakukan suatu pertobatan yang terus menerus dengan hati yang tulus dan ikhlas. Ini menunjukkan betapa besar
kasih Tuhan untuk kehidupan kita umat manusia dan Tuhan mengajak kita (calon imam) supaya selama di dunia ini tidak tenggelam dalam hal yang sia-sia terlebih kepada dosa (melukai Tuhan, Gereja dan sasama). Jika kita (calon imam) kembali ke jalan yang benar dan mau mengikuti kehendak Tuhan, kita (calon imam) akan memperoleh keselamatan kekal dan di sana kita(calon imam) akan menikmati kebahagiaan bersama Allah Tritunggal dan para kudus.

Seseorang (calon imam) yang telah menyimpang dari kehendak Tuhan atau telah melukai Tuhan, Gereja dan sesama, pertama-tama harus menyadari bahwa pertobatan merupakan langkah yang tepat untuk kembali pada Tuhan. Perlu disadari bahwa sebenarnya rahmat dan kerahiman Tuhanlah yang menarik manusia kepadaNya. Dengan demikian, ini bukanlah usaha manusia melainkan oleh karena rahmat Allah orang menjadi sadar akan kelemahannya sendiri dan menyadari kelemahan itu dihadapan Allah. Allah sendiri yang menarik orang berdosa kepadaNya sehingga manusia mampu menyerahkan diri kepada Allah Yangmaharim. Sebab hanya Allahlah  yang mampu untuk mengubah hidup manusia dan diluar Tuhan manusia tidak akan memperoleh keselamatan dan semuanya akan menjadi sia-sia saja.
Allah telah memanggil setiap orang pada jalan keselamatan, oleh karena itu seseorang (calon imam) harus sadar dan mengakui semua dosa yang telah dilakukan dihadapan Allah, bukan merasa senang dan gembira dengan pebuatan tersebut. Seringkali perbuatan seseorang (calon imam) melukai banyak orang tetapi ia merasa gembira atas perbuatannya sendiri itu. Oleh karena itu, sebagai seorang calon imam harus menjadikan pertobatan sebagai sarana utama untuk kembali kepada Allah, bukan merasa seakan-akan tidak ada sesuatu yang perna dilakukan. Allah mengasihi kita bukan karena kepandaian, kebaikan,
tetapi karena Kristus sungguh-sungguh mengasihi kita umat manusia apa adanya.
Itulah sebabnya Ia telah mati bagi kita justru ketika kita masih berdosa. Dengan
demikian Yesus sendiri telah memberi teladan kepada kita (calon imam) "tidak ada kasih yang
lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk
sahabat-sahabatnya."
 
Oleh sebab itulah Tuhan memberi kebebasan kepada manusia secara khusus calon imam untuk menjawab tawaran Allah ini. Bila manusia mengatakan "ya" untuk setiap perintah Allah maka dia dapat dengan cepat memperoleh kekudusan di dalam hidup. Tak henti-hentinya tawaran itu datang kepada kita (calon imam) dan pada saat inilah kita harus mulai menjawab tawaran Allah ini sehingga sudah sejak saat ini kita menikmati janji-Nya, yaitu
mengalami sukacita surgawi dan pada saatnya nanti kita (calon imam) boleh ikut ambil bagian
dalam kemuliaan Allah di surga.