“AKU
DATANG UNTUK MELAYANI BUKAN UNTUK DI LAYANI"
(SEBUAH REFLEKSI AKHIR SEMESTER SEBAGAI SEORANG
CALON IMAM KAME)
(SEBUAH REFLEKSI AKHIR SEMESTER SEBAGAI SEORANG
CALON IMAM KAME)
AYUSTUS ERASMUS LIM
Tak terasa perjalanan panggilan hidup saya sebagai seorang
calon imam Keuskupan Agung Merauke sudah memasuki semester yang ke VI (tingkat
III). Pada tahap dan tingkat yang demikian tentunya ada banyak pengalaman suka
dan duka yang dialami. Suka berarti pengalaman hidup yang dialami itu mendorong
dan memotivasi panggilan hidup sebagai seorang calon imam sedangkan duka
berarti ada pengalaman yang menghambat panggilan saya sebagai seorang calon
imam. Namun pengalaman-pengalaman ini (baik suka maupun duka) menghantar saya
pada sebuah pemahaman bahwa menjadi imam tidaklah semudah membalikkan telapak
tangan melaian harus melewati berbagai tantangan baik yang menyenangkan maupun
yang menyedihkan ataupun menyulitkan.
Selama ini, saya merasa bahwa tidak ada kesulitan besar yang
menghambat panggilan saya baik dari pihak keluarga, teman-teman seperjuangan
maupun relasi dengan lawan jenis. Tetapi terkadang muncul pemikiran dalam diri
saya bahwa apakah situasi (persoalan pribadi) yang terjadi sementara ini di
Seminari Tinggi Interdiosesan Yerusalem baru ini dapat menjamin kehidupan saya
sebagai seorang imam kelak nanti? Secara jujur saya melihat bahwa kehidupan
saya di tempat ini belumlah menjamin saya untuk menjadi imam. Saya sudah
berusaha semaksimal mungkin untuk menghiraukan situasi (persoalan pribadi) yang
demikian tetapi tetap saja tidak bisa karena pengaruh situasi atau lingkungan
sangat kuat sehingga bagaimanapun saya tetap terjerumus didalamnya.
Hambatan terbesar yang selalu menghantui saya adalah
keraguan untuk menjadi imam di masa depan karena saya berpikir bahwa situasi
yang sekarang ini saya alami tidak akan menjamin saya untuk hidup menjadi seorang
imam yang baik di masa depan. Saya tentunya bisa menjadi imam tetapi imam yang
bagaimana itulah yang menjadi persoalan. Saya mengakui bahwa saat sekarang
adalah saat yang tepat untuk mengatur diri sendiri tetapi hal ini hanya akan
membuat saya untuk terus terjerumus terhadap apa yang saya inginkan saja.
Seringkali saya
berpikir bahwa walaupun situasi yang saya alami sekarang tidak membantu saya
untuk menjadi imam yang baik kelak tetapi saya harus mengembangkan diri sesuai
dengan apa yang menjadi ciri khas seminaris dan menunjukkan jati diri sebagai
seorang calon imam. Sebagai manusia lemah seringkali saya jatuh pada hal-hal
yang sebenarnya tidak pantas saya lakukan tetapi melalui kejatuhan yang saya
alami itu mengajarkan kepada saya betapa pentingnya perjalanan hidup sebagai
seorang calon imam.
Dalam refleksi ini, saya mengungkapkan pengalaman asistensi
natal di paroki St. Mikhael Waris. Saya dan keenam teman berangkat dari
Seminari kira-kira pukul 08.00 pagi dan tiba pukul 13.00. Perjalanan yang cukup
jauh dan melelahkan. Setibanya di paroki saya kaget karena kurangnya aktifvitas
menyongsong natal (besoknya). Paroki yang terletak dipedalaman ini sangat sepi
tidak sebanding dengan paroki-paroki lain yang pernah saya kunjungi selama
hidup. Pastor paroki (P. Kris Bidi svd), menyambut kedantangan kami. Sambil
beristiahat di depan pastoran beliau mengatakan “apa yang kamu lihat ini,
begini sudah paroki kami”. Kemudian beliau menceritakan situasi kehidupan
paroki yang menurut saya sangat susah menjadi pastor paroki ditempat yang
demikian. Lanjutnya, beliau mengatakan bahwa saya sangat senang tinggal
ditempat yang seperti ini.
Setelah makan siang, kami duduk santai didepan teras
pastoran. Kemudian dengan nada kelakar saya mengatakan “teman-teman dengan
melihat dan mengalami situasi yang seperti ini, mau tidak jadi imam?” ada yang
mengatakan “lebih baik keluar dan nikah saja”, ada pula yang menjawab “saya
senang dengan situasi seperti ini karena tidak ada tugas yang terlalu banyak
untuk dikerjakan”. Situasi yang demikian membuat saya tidak mampu untuk
memberikan sebuah jawaban. Dalam hati muncul berbagai pikiran dilema apakah
saya harus tetap melanjutkan perjalanan hidup saya sebagai imam? Ataukah harus
memutuskan perjalanan panggilan ini. Setelah berefleksi dalam hati, saya
teringat akan tujuan kedatangan saya ke tanah Papua untuk menjadi imam.
Motivasi awal untuk datang ke Papua adalah melayani orang orang
terpencil/pedalaman. Oleh karena itu, apa yang saya alami ini telah menjadi
kenyataan walaupun belum menjadi imam (Aku datang untuk melayani bukan untuk
dilayani).
Hal terpenting yang saya petik dan pelajari dari pengalaman
ini adalah berusaha untuk selalu setia menerima kenyataan dalam melaksanakan
tugas walaupun harus mengalami kesedihan dan penderitaan. Pengalaman ini pula
telah mengajarkan untuk selalu setia menghadapi kenyataan karena apa yang saya
alami sekarang ini akan terulang lagi jika Tuhan menghendaki saya menjadi imam
di Keuskupan Agung Merauke. Jika mengalami hal demikian di Keuskupan Agung
Merauke maka tidak menjadi hal yang baru lagi buat saya, sesuai dengan motivasi
datang Papua dengan perkataan Yesus “Aku datang bukan untuk melayani bukan
untuk dilayani”. Singkatnya saya ingin mengatakan bahwa saya datang untuk
menjadi imam di tanah Papua, oleh karena itu saya akan berusaha untuk menggapai
keinginan saya ini walaupun Tuhan yang menentukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar