FEODALISME
VERSUS SISTEM DEMOKRASI DI INDONESIA
TUGAS:
FILSAFAT BUDAYA
O L
E H:
AYUSTUS
ERASMUS LIM
NIM:
09010309
SEKOLAH
TINGGI FILSAFAT TEOLOGI “FAJAR TIMUR”
ABEPURA
2011
PENDAHULUAN
Pada abad
petengahan di Eropa yakni yang dimulai dengan runtuhnya Romawi dan berakhir
pada masa renaisanse abad ke-14, sekitar abad ke-3 Romawi pecah menjadi dua
wilayah yakni Romawi barat dan Romawi Timur, waktu-waktu tersebut merupakan
permulaan munculnya perekonomian yang biasanya kita sebut sistem feodalisme.[1]
Sistem feodalisme yang terjadi mengakibatkan munculnya kelas penguasa, ningrat,
borjuis, aristokrat dan kelas bawah yang terdiri dari buruh, petani dan hamba.
Sistem yang demikian menjadikan kelas bangsawan dan lain sebagainya untuk
mengambil alih dan memonopoli sistem perekonomian. Dalam feodalisme tanah
ibarat sumber kehidupan bagi para raja dan bangsawan. Seluruh tanah dianggap
milik raja dan keluarganya. Rakyat hanya meminjam sehingga harus membayar pajak
atau upeti. Dan sewaktu-waktu raja boleh mengambil kembali tanahnya kalau ia
menginginkan. Akibatnya, patronase menjadi kelaziman yang tak bisa dihindari.
Kalau masyarakat ingin hidup maka ia harus mengabdi pada penguasa tanah: raja,
bangsawan dan tuan tanah. Petani dan masyarakat mesti tunduk dan hormat kepada
mereka.
Pada hakekatnya, sistem pemerintahan Negara
Indonesia adalah demokrasi. Namun nilai-nilai feodalisme itu kian bertahan dan
berkembang dalam wujud neo feodalisme yang sebenarnya bertolak belakang dengan
paham dan prinsip demokrasi yang bertumbuh pada persamaan. Sebuah fenomena dari
tradisi masa lalu yang membuat demokrasi di Indonesia seakan-akan kehilangan
makna aslinya. Melihat perkembangan feodalisme di Indonesia dan telah merusak
nilai-nilai demokrasi, maka hal ini mendorong penulis untuk mendalaminya karena
sampai saat ini sistem feodalisme terus menjadikan masyarakat hidup dalam
ketakutan dan penderitaan yang berkepanjangan. Akhirnya, alasan dalam penulisan
makalah ini adalah bahwa penulis ingin memahami dan mengetahui secara lebih mendalam
tentang sistem feodalisme yang terjadi yang terjadi di Negara-negara Eropa dan
secara khusus sistem feodalisme yang terjadi di Negara Indonesia. Selain itu, tujuan
yang hendak dicapai dalam penulisan makalah ini adalah, mengetahui apa itu
sistem feodalisme yang terjadi di sebuah Negara secara khusus Negara Indonesia?
Mengetahui pengaruh dan dan dampak sistem feodalisme? Serta mampu untuk
menganalisis dan mengetehui relevansinya di Negara Indonesia. Saya berharap
bahwa tujuan yang dikemukakan ini dapat menambah pengetahuan bagi penulis dalam
menggapai cita-cita sebagai seorang calon Imam di tanah Papua.
FEODALISME DAN PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA
Istilah
feodalisme diambil dari istilah Latin ‘feodum’
yang berarti ‘fief’. Jadi secara
harafiah istilah feodalisme berarti suatu masyarakat yang diatur berdasarkan
sistem fief dengan kekuasaan legal
dan politis yang menyebar luas di antara orang-orang yang memiliki kekuasaan
ekonomi.[2]
Namun istilah itu dipakai dengan pengertian yang lebih luas, yakni mengacu pada
masyarakat manapun di mana sebagian besar produksi sosial dilakukan oleh
orang-orang yang harus menyerahkan sebagian produk mereka kepda sekolompok
non-produsen pemilik lahan turun-temurun yang kekuasaannya didasarkan pada hak
istimewa turun-temurun dan kekuatan senjata. Feodalisme juga dapat diartikan sebagai sebuah sistem sosial
yang dominan pada abad pertengahan terutama di Eropa, dimana raja membagi
wilayah-wilayah kekuasaannya yang dipimpin para bangsawan sebagai balas jasa
terhadap layanan militer yang diberikan para bangsawan. Para tuan tanah
membayar pajak kepada bangsawan sebagai upah menyewa tanah dan para penduduk
wajib tunduk, hormat, bekerja dan membagikan hasil produksinya kepada penguasa
wilayah tersebut.
Istilah
feodalisme sendiri dipakai sejak abad ke-17 dan oleh pelakunya sendiri tidak
pernah dipakai. Semenjak tahun 1960-an, para sejarawan memperluas penggunaan
istilah ini dengan memasukkan pula aspek kehidupan sosial para pekerja lahan di
lahan yang dikuasai oleh tuan tanah, sehingga muncul istilah "masyarakat
feodal". Karena penggunaan istilah feodalisme semakin lama semakin
berkonotasi negatif, oleh para pengkritiknya istilah ini sekarang dianggap
tidak membantu memperjelas keadaan dan dianjurkan untuk tidak dipakai tanpa
kualifikasi yang jelas. Sistem sosial seperti ini juga dapat kita temukan di
Indonesia. Dalam penggunaan bahasa sehari-hari di Indonesia, seringkali istilah
ini digunakan untuk merujuk pada perilaku-perilaku negatif yang mirip dengan
perilaku para penguasa yang lalim, seperti 'kolot', 'selalu ingin dihormati',
atau 'bertahan pada nilai-nilai lama yang sudah banyak ditinggalkan'. Arti ini
sudah banyak melenceng dari pengertian politiknya.. Seorang antropolog Amerika,
Clifford Geertz, menggolongkan masyarakat Jawa kepada tiga golongan, yaitu
priyayi, santri dan abangan. Golongan priyayi inilah yang menduduki posisi
bangsawan.[3]
Seperti yang
kita ketahui feodalisme adalah sebuah faham dimana adanya pengakuan sistem
kasta, dalam feodalisme sistem kasta masih dipertahankan namun berubah
bentuk menjadi penguasa dan kaum elite. Di Indonesia neo-feodalisme masih
ada dan berkembang dalam sistem pemerintahan dan telah menjadi budaya yang tak
bisa dipisahkan dari kehidupan Negara kita. Feodalisme terlahir dari adanya
kerajaan-kerajaan hindu di Indonesia. Sejarah membuktikan bahwa hinduisme telah
dominan di Nusantara ini sebelum datangnya islam dan kolonialisme, karena
memang kerajaan hindulah yang tertua berkuasa di Nusantara ini. Sistem yang
melekat dalam kerajaan hindu adalah sistem feodalisme. Pengelompokan manusia
sesuai dengan derajatnya tersebut. Feodalisme yang terjadi pada zaman kerajaan
hindu adalah pembagian kasta dan menguasai Nusantara sekitar 10 abad lamanya.
Feodalisme pun membekas keras dalam benak manusia Indonesia, pengaruhnya pun
tidak mudah dihapus begitu saja, sehingga feodalisme masih ada dan berubah
menjadi neo-feodalisme menjelang abad ke 21 ini. Contoh dari unsur feodalisme
yang menonjolkan tentang jenjang atau tingkat masyarakat seperti apabila ada
seorang menteri atau pejabat mengadakan pesta pora pernikahan anaknya, seluruh
karyawan atau “balakeningratannya” akan ikut serta dalam kegiatan tersebut
mereka diberi seragam sesuai dengan fungsi dan derajatnya,ada yang menjadi
ketua panitia,penerima tamu tertentu, penerima tamu biasa dan seterusnya (contoh
konkritnya seperti pernikahan Ibas dan Aliya). Dengan kata lain manusia
Indonesia itu terbiasa dengan pengkotak-kotakkan dalam fungsi dan derajatnya
sebagai karyawan dan juga sebagai pelayan “Bapak” seperti lazimnya dalam sistem
feodalisme.
PANDANGAN THOMAS
AQUINAS TENTANG MASYARAKAT FEODAL[4]
Selama
berabad-abad, dasar pemikiran sosial gereja adalah keyakinan bahwa adanya
lembaga-lembaga penaklukkan itu merupakan hukuman bagi kejatuhan Adam dan Hawa
serta akibat perilaku angkara yang dilakukan semua anak cucu mereka. Atas
rahmat Tuhan para raja di tempakan diatas orang-orang lain dengan tujuan
mengusir angkara. Namun, lambat-laun, konsepsi yang agak berbeda bisa diterima:
pandangan bahwa ciri-ciri utama tatanan sosial feudal adalah akibat dari aturan
ilahi dan bukan sekedar hukuman atas ketidaktaatan manusia. Dalam pandangan
ini, keputusan orang-orang terhadap majikan, lord, dan Raja adalah
sesuatu yang alami dan benar, asalkan itu berlangsung dalam batas-batas
tertentu. Jika tidak, maka hal itu menjadi tidak alami dan tidak benar.
Pendapat ini mendapatkannya yang paling menyeluruh pada filsafat sosial Thomas
Aquinas, yang karya besarrnya, yakni Summa Theologica (1265-73), menjadi
ajaran resmi gereja.
TANGGAPAN
ATAS PEMIKIRAN THOMAS AQUINAS (ANALISIS)
Berdasarkan
pemikiran dari Thomas Aquinas ini, saya sangat setuju bahwa tatanan masyarakat
feodal yang ada dalam masyarakat merupakan akibat dari aturan/hukum ilahi dan
bukan sekedar hukuman atas ketidaktaatan manusia. Dengan demikian para penguasa
seperti bangsawan, Raja dan masyarakat kecil merupakan sesuatu yang alami dalam
kehidupan masyarakat. Pada hakekatnya, sesuatu kelompok orang akan dikatakan
sebagai masyarakat apabila didalamnya terdapat hirarki yakni adanya Raja
(penguasa, bangsawan) dan masyarakat kecil (petani, buruh dll). Semuanya ini
dapat dikatakan benar apabila berjalan/berlangsung sesuai dengan batas-batas
tertentu.
Namun dalam
aspek ekonomi, saya agak berseberangan dengan pemikiran Thomas Aquinas tentang
hukum/aturan alami yang terjadi dalam kehidupan masyrakat. Realita yang terjadi
dalam kehidupan masyarakat justru menunjukkan bahwa praktek hirarki antara
Raja, penguasa, bangsawan dan masyrakat kecil telah merusak dan mengancam
stabilitas dalam kehidupan bersama. Sistem yang demikian menjadikan masyarakat
kecil (buruh dan petani) terus menderita sepanjang masa, karena yang kaya akan
tetap kaya sedangkan yang miskin akan tetap miskin. Padahal manusia tidak
ditakdirkan dan diciptakan untuk hidup miskin dan menderita sepanjang hidup.
Menurut pemikiran etis St Agustinus mengatakan bahwa Allah Sang Pencipta itu
telah menciptakan semua dengan baik. Sedangkan menurut Hobbes mengatakan bahwa
manusia itu setara: variasi individual dalam hal kekuatan dan rasionalitas
tidak penting bila dilihat dalam sudut pandang mempertahankan hidup.[5]
Dengan demikian, menurut saya bahwa dalam masyarakat sistem hirarki itu sangat
andil, tetapi setiap individu harus diberikan kebebasan untuk mengatur dan
mengelolah hidupnya sendiri. Para penguasa (Raja, bangsawan), seharusnya
memberikan perlindungan terhadap masyarakat kecil bukan menjadikan masayarakat
sebagai obyek.
Selain itu
juga, masyarakat harus mulai meninggalkan feodalisme dan mengganti dengan
budaya egaliter dimana setiap masyarakat mempunyai kedudukan yang sama.
Sehingga tidak ada lagi keharusan untuk selalu mengikuti atasan dan dengan
begitu ide, gagasan serta kreatifitas individu dapat terlihat tanpa harus
takut, rikuh dengan atasan, senior atau penjabat. Masyarakat harus mulai berani
menonjolkan diri tanpa rasa takut atau segan dengan atasan. Dengan hal itu maka
kemampuan dari masing-masing individu dapat terlihat dengan maksimal. Selain
menumbuhkan budaya egaliter, juga harus menumbuhkan rasa percaya diri.
Masyarakat harus percaya diri dengan kemampuan yang dimiliki tanpa harus merasa
minder dengan senior, ataupun atasan.
FEODALISME
VERSUS SISTEM DEMOKRASI INDONESIA
Dalam masyarakat dunia modern yang menjunjung tinggi
demokrasi, tentu nilai-nilai kesetaraan yang menjadi makna lain dari demokrasi,
telah menutup ruang bagi timbulnya nilai-nilai feodalistik. Begitu juga dengan
semangat yang terkandung dalam falsafah bangsa Indonesia, Pancasila. Nilai ini
terkandung dalam sila ke-2, kemanusiaan yang adil dan beradab dan sila ke-5,
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Indonesia sebagai sebuah negara
demokrasi, telah menutup ruang bagi tradisi feodalisme dengan mengedepankan
kesetaraan setiap warga negara.
Disadari atau tidak, feodalisme masih ada dalam sebuah
negara demokrasi seperti Indonesia. Feodalisme yang eksis di sebuah negara
monarki bertransformasi menjadi neo feodalisme yang wujud di sebuah negara
demokrasi dengan membawa nilai-nilai feodal yang menciptakan paradoksi
demokrasi. Dalam sebuah negara demokrasi dengan tradisi feodal, ditandai dengan
terbentuknya faksi-faksi, hal ini terlihat jelas dalam pemerintahan yang
didominasi oleh faksi kepentingan elit politik. Elit politik inilah yang
memainkan alur kebijakan, membawa kepentingan kelompoknya dengan
mengatasnamakan kepentingan rakyat.
Tradisi feodal lain yang diwariskan adalah dengan pemberian
ruang kekuasaan atau akses-akses terhadap sumber ekonomi berdasarkan ikatan
primordial, emosional dan kelompok-kelompok tertentu. Menurut Ben Anderson,
seorang Indonesianis, ia melihat bahwa tradisi para politikus menyiapkan
putra-putri mereka dalam mengganti posisi mereka merupakan cerminan feodalisme.
Mereka hanya mampu menumpang ketenaran orangtua atau suami mereka, meskipun
mereka berotak “ayam”. Sesungguhnya tradisi-tradisi feodalisme yang ada dalam
sistem demokrasi Negara Indonesia menimbulkan dua hal (relevansinya) yakni:
1. KORUPSI
Korupsi dari
hari ke hari makin menjadi berita aktual dalam berbagai media massa. Meski
usianya sudah tua, setua peradaban manusia, perilaku korupsi ternyata tidak
juga berkurang, bahkan semakin merajalela. Korupsi, makin terang-terangan dilakukan.
Bukan hanya perindividu saja yang melakukannya, namun saat ini juga marak
korupsi secara bersama-sama. Satu kelompok masyarakat tertentu melakukan
korupsi secara bersama dan besar-besaran.
Di Indonesia, praktek korupsi bersama banyak terjadi. Praktek korupsi berawal dari proses pembiaran, akhirnya menjadi kebiasaan dan berujung kepada sesuatu yang sudah terbiasa untuk dikerjakan oleh pejabat-pejabat negara. Sehingga masyarakat menjadi pesimis dan putus asa terhadap upaya penegakan hukum untuk menumpas koruptor. Dalam perkembangannya, korupsi menjadi sebuah masalah ekonomi yang berakar pada struktur sosial-politik masyarakat Indonesia. Dalam paham feodalisme, penyimpangan yang kerap terjadi merupakan penyalahgunaan kekuasaan. “Penyalahgunaan kekuasaan, terutama korupsi, masih sangat merajalela. Bukannya berkurang, tetapi malah justru menguat” (Kompas, Minggu 9 Mei 2010). Salah satu akar utama dari penyalahgunaan itu adalah sistem feodalisme. Dalam sistem feodalisme itu, otomatis siapa saja yang memiliki kekuasaan menjadi merasa memiliki hak-hak khusus. “Salah satu sumber penyebabnya adalah struktur masyarakat dan paham kita yang masih feodal. Dalam sistem feodal, jika kita punya kekuasaan, kita juga merasa punya hak-hak tersendiri. Salah satu ekspresinya melalui penyalahgunaan wewenang,” ungkapnya.
Di Indonesia, praktek korupsi bersama banyak terjadi. Praktek korupsi berawal dari proses pembiaran, akhirnya menjadi kebiasaan dan berujung kepada sesuatu yang sudah terbiasa untuk dikerjakan oleh pejabat-pejabat negara. Sehingga masyarakat menjadi pesimis dan putus asa terhadap upaya penegakan hukum untuk menumpas koruptor. Dalam perkembangannya, korupsi menjadi sebuah masalah ekonomi yang berakar pada struktur sosial-politik masyarakat Indonesia. Dalam paham feodalisme, penyimpangan yang kerap terjadi merupakan penyalahgunaan kekuasaan. “Penyalahgunaan kekuasaan, terutama korupsi, masih sangat merajalela. Bukannya berkurang, tetapi malah justru menguat” (Kompas, Minggu 9 Mei 2010). Salah satu akar utama dari penyalahgunaan itu adalah sistem feodalisme. Dalam sistem feodalisme itu, otomatis siapa saja yang memiliki kekuasaan menjadi merasa memiliki hak-hak khusus. “Salah satu sumber penyebabnya adalah struktur masyarakat dan paham kita yang masih feodal. Dalam sistem feodal, jika kita punya kekuasaan, kita juga merasa punya hak-hak tersendiri. Salah satu ekspresinya melalui penyalahgunaan wewenang,” ungkapnya.
Korupsi bukanlah
sebuah masalah moral semata. Suburnya praktek korupsi tidak tidak terlepas dari
struktur politik kekuasaan yang memberikan ruang untuk munculnya masalah
tersebut. Salah satu di antara banyak faktor yang berperan menyuburkan korupsi
adalah "sentralisme kekuasaan", atau struktur pemerintahan yang
memusatkan kekuasaan di tangan segelintir elit saja. Pimpinan Umum Harian
Kompas, Jakob Oetama, dalam seminar "Korupsi yang Memiskinkan", di
Jakarta, Senin (21/2) menyatakan salah satu sumber korupsi di Indonesia adalah
feodalisme. "Feodalisme memberikan privilege, hak istimewa bagi
penguasa," kata Jakob. Harus diakui, maraknya korupsi di tanah air bisa
menciptakan hidup bersama di Indonesia menjadi busuk. Pasalnya, korupsi tak
hanya membusukkan para pelakunya, tetapi juga seluruh kinerja, maksud, dan
tujuan sebuah institusi yang menjadi prasyarat mutlak hidup bersama. Struktur
dan anatomi korupsi di Indonesia sudah berurat berakar sejak lama.
2.
KEMISKINAN
Indonesia
merupakan Negara yang kaya akan sumber daya alam. Namun ternyata kekayaan tidak
bisa membuat bangsa ini keluar dari kemiskinan. Masih banyak masyarakatyang
hidup dalam kemiskinan. Kemiskinan ini disebabkan selain karena faktor struktural
yang tidak memberi kesempatan masyarakat untuk mengakses sektor-sektor
kehidupan, namun juga disebabkan oleh nilai-nilai budaya yang dinut leh
masyarakat. salah satunya adalah budaya feodalisme, dimana masyarakat selalu
berorientasi ke atasan, senior, dan pejabat untuk dimintai restunya ketika akan
melakukan kegiatan atau usaha. Budaya ini mengakibatkan masyarakat menjadi
terkungkung, kurang kreatif karena selalu menurut pada atasan. Akibatnya yang
mendapatkan keuntungan hanya kelas atas yang jumlahnya sedikit, sementara
kelompok bawah yang mayoritas tidak mendapat apa-apa dan akan selalu hidup
dalam keterbatasan. Kehidupan suatu masyarakat tidak akan lepas dari adanya
masalah-masalah. Masalah yang menjadi perhatian dalam kehidupan modern ini
adalah kemiskinan. Kemiskinan menjadi “hantu” yang terus membayangi kehidupan
manusia sebagai anggota masyarakat dan bangsa. Keadaan miskin ini menjadi suatu
masalah sosial yang memang menjadi bagian masyarakat di seluruh dunia.
Indonesia
merupakan Negara yang kaya akan sumber daya alam (konkritnya di tanah Papua).
Namun ternyata kekayaan tidak bisa membuat bangsa ini keluar dari kemiskinan.
Masih banyak masyarakat yang hidup dalam kemiskinan. Kemiskinan ini disebabkan
selain karena faktor struktural yang tidak memberi kesempatan masyarakat untuk
mengakses sektor-sektor kehidupan, namun juga disebabkan oleh nilai-nilai
budaya yang dianut oleh masyarakat. Salah satunya adalah budaya feodalisme,
dimana masyarakat selalu berorientasi ke atasan, senior, dan pejabat untuk dimintai
restunya ketika akan melakukan kegiatan atau usaha. Budaya ini mengakibatkan
masyarakat menjadi terkungkung, kurang kreatif karena selalu menurut pada
atasan. Akibatnya yang mendapatkan keuntungan hanya kelas atas yang jumlahnya
sedikit, sementara kelompok bawah yang mayoritas tidak mendapat apa-apa dan
akan selalu hidup dalam keterbatasan. Kehidupan suatu masyarakat tidak akan
lepas dari adanya masalah-masalah. Masalah yang menjadi perhatian dalam
kehidupan modern ini adalah kemiskinan. Kemiskinan menjadi hantu yang terus
membayangi kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat dan bangsa. Keadaan
miskin ini menjadi suatu masalah sosial yang memang menjadi bagian masyarakat
di seluruh dunia.
KESIMPULAN
Berdasarkan
pokok-pokok bahasan diatas dapat disimpulkan bahwa sistem feodalisme yang
terjadi di Negara-negara Eropa memberikan dapak bagi Negara Indonesia.
Perkembangan feodalisme di Indonesia telah merusak dan mengancam nilai-nilai
demokrasi. Para penguasa dan kaum elite menggunakan kekuasaannya untuk melakukan
apa saja yang dikehendaki. Menurut Thomas Aquinas, sistem feodalisme yang ada
dalam masyarakan merupakan suatu hukum alami. Pemikiran ini, mendapatkan
tanggapan dari saya bahwa setiap manusia tidak diciptakan atau ditakdirkan
untuk terus hidup menderita. Apabila sistem feodalisme dipandang sebagai hukum
alami berarti dalam kehidupan bersama yang kaya akan tetap kaya dan yang miskin
akan tetap miskin, padahal Allah Sang Pencipta telah menciptakan semua dengan
baik. Dalam Negara demokrasi seperti Negara Indonesia, sistem feodalisme
memainkan peranan penting dalam berbagai hal (politik, kekuasaan dll). Dengan
demikian, sistem feodalisme ini melahirkan korupsi yang terus saja terjadi dan
kemiskinan yang berkepanjangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar