Kamis, 08 Desember 2011

FEODALISME VERSUS SISTEM DEMOKRASI INDONESIA

FEODALISME VERSUS SISTEM DEMOKRASI DI INDONESIA


TUGAS: FILSAFAT BUDAYA
O L E H:
AYUSTUS ERASMUS LIM
NIM: 09010309
SEKOLAH TINGGI FILSAFAT TEOLOGI “FAJAR TIMUR”
ABEPURA
2011

PENDAHULUAN
Pada abad petengahan di Eropa yakni yang dimulai dengan runtuhnya Romawi dan berakhir pada masa renaisanse abad ke-14, sekitar abad ke-3 Romawi pecah menjadi dua wilayah yakni Romawi barat dan Romawi Timur, waktu-waktu tersebut merupakan permulaan munculnya perekonomian yang biasanya kita sebut sistem feodalisme.[1] Sistem feodalisme yang terjadi mengakibatkan munculnya kelas penguasa, ningrat, borjuis, aristokrat dan kelas bawah yang terdiri dari buruh, petani dan hamba. Sistem yang demikian menjadikan kelas bangsawan dan lain sebagainya untuk mengambil alih dan memonopoli sistem perekonomian. Dalam feodalisme tanah ibarat sumber kehidupan bagi para raja dan bangsawan. Seluruh tanah dianggap milik raja dan keluarganya. Rakyat hanya meminjam sehingga harus membayar pajak atau upeti. Dan sewaktu-waktu raja boleh mengambil kembali tanahnya kalau ia menginginkan. Akibatnya, patronase menjadi kelaziman yang tak bisa dihindari. Kalau masyarakat ingin hidup maka ia harus mengabdi pada penguasa tanah: raja, bangsawan dan tuan tanah. Petani dan masyarakat mesti tunduk dan hormat kepada mereka.
 Pada hakekatnya, sistem pemerintahan Negara Indonesia adalah demokrasi. Namun nilai-nilai feodalisme itu kian bertahan dan berkembang dalam wujud neo feodalisme yang sebenarnya bertolak belakang dengan paham dan prinsip demokrasi yang bertumbuh pada persamaan. Sebuah fenomena dari tradisi masa lalu yang membuat demokrasi di Indonesia seakan-akan kehilangan makna aslinya. Melihat perkembangan feodalisme di Indonesia dan telah merusak nilai-nilai demokrasi, maka hal ini mendorong penulis untuk mendalaminya karena sampai saat ini sistem feodalisme terus menjadikan masyarakat hidup dalam ketakutan dan penderitaan yang berkepanjangan. Akhirnya, alasan dalam penulisan makalah ini adalah bahwa penulis ingin memahami dan mengetahui secara lebih mendalam tentang sistem feodalisme yang terjadi yang terjadi di Negara-negara Eropa dan secara khusus sistem feodalisme yang terjadi di Negara Indonesia. Selain itu, tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan makalah ini adalah, mengetahui apa itu sistem feodalisme yang terjadi di sebuah Negara secara khusus Negara Indonesia? Mengetahui pengaruh dan dan dampak sistem feodalisme? Serta mampu untuk menganalisis dan mengetehui relevansinya di Negara Indonesia. Saya berharap bahwa tujuan yang dikemukakan ini dapat menambah pengetahuan bagi penulis dalam menggapai cita-cita sebagai seorang calon Imam di tanah Papua.
FEODALISME DAN PERKEMBANGANNYA DI INDONESIA
Istilah feodalisme diambil dari istilah Latin ‘feodum’ yang berarti ‘fief’. Jadi secara harafiah istilah feodalisme berarti suatu masyarakat yang diatur berdasarkan sistem fief dengan kekuasaan legal dan politis yang menyebar luas di antara orang-orang yang memiliki kekuasaan ekonomi.[2] Namun istilah itu dipakai dengan pengertian yang lebih luas, yakni mengacu pada masyarakat manapun di mana sebagian besar produksi sosial dilakukan oleh orang-orang yang harus menyerahkan sebagian produk mereka kepda sekolompok non-produsen pemilik lahan turun-temurun yang kekuasaannya didasarkan pada hak istimewa turun-temurun dan kekuatan senjata. Feodalisme juga dapat diartikan sebagai sebuah sistem sosial yang dominan pada abad pertengahan terutama di Eropa, dimana raja membagi wilayah-wilayah kekuasaannya yang dipimpin para bangsawan sebagai balas jasa terhadap layanan militer yang diberikan para bangsawan. Para tuan tanah membayar pajak kepada bangsawan sebagai upah menyewa tanah dan para penduduk wajib tunduk, hormat, bekerja dan membagikan hasil produksinya kepada penguasa wilayah tersebut.
Istilah feodalisme sendiri dipakai sejak abad ke-17 dan oleh pelakunya sendiri tidak pernah dipakai. Semenjak tahun 1960-an, para sejarawan memperluas penggunaan istilah ini dengan memasukkan pula aspek kehidupan sosial para pekerja lahan di lahan yang dikuasai oleh tuan tanah, sehingga muncul istilah "masyarakat feodal". Karena penggunaan istilah feodalisme semakin lama semakin berkonotasi negatif, oleh para pengkritiknya istilah ini sekarang dianggap tidak membantu memperjelas keadaan dan dianjurkan untuk tidak dipakai tanpa kualifikasi yang jelas. Sistem sosial seperti ini juga dapat kita temukan di Indonesia. Dalam penggunaan bahasa sehari-hari di Indonesia, seringkali istilah ini digunakan untuk merujuk pada perilaku-perilaku negatif yang mirip dengan perilaku para penguasa yang lalim, seperti 'kolot', 'selalu ingin dihormati', atau 'bertahan pada nilai-nilai lama yang sudah banyak ditinggalkan'. Arti ini sudah banyak melenceng dari pengertian politiknya.. Seorang antropolog Amerika, Clifford Geertz, menggolongkan masyarakat Jawa kepada tiga golongan, yaitu priyayi, santri dan abangan. Golongan priyayi inilah yang menduduki posisi bangsawan.[3]
Seperti yang kita ketahui feodalisme adalah sebuah faham dimana adanya pengakuan sistem kasta, dalam feodalisme sistem kasta masih dipertahankan namun berubah  bentuk menjadi penguasa dan kaum elite. Di Indonesia neo-feodalisme masih ada dan berkembang dalam sistem pemerintahan dan telah menjadi budaya yang tak bisa dipisahkan dari kehidupan Negara kita. Feodalisme terlahir dari adanya kerajaan-kerajaan hindu di Indonesia. Sejarah membuktikan bahwa hinduisme telah dominan di Nusantara ini sebelum datangnya islam dan kolonialisme, karena memang kerajaan hindulah yang tertua berkuasa di Nusantara ini. Sistem yang melekat dalam kerajaan hindu adalah sistem feodalisme. Pengelompokan manusia sesuai dengan derajatnya tersebut. Feodalisme yang terjadi pada zaman kerajaan hindu adalah pembagian kasta dan menguasai Nusantara sekitar 10 abad lamanya. Feodalisme pun membekas keras dalam benak manusia Indonesia, pengaruhnya pun tidak mudah dihapus begitu saja, sehingga feodalisme masih ada dan berubah menjadi neo-feodalisme menjelang abad ke 21 ini. Contoh dari unsur feodalisme yang menonjolkan tentang jenjang atau tingkat masyarakat seperti apabila ada seorang menteri atau pejabat mengadakan pesta pora pernikahan anaknya, seluruh karyawan atau “balakeningratannya” akan ikut serta dalam kegiatan tersebut mereka diberi seragam sesuai dengan fungsi dan derajatnya,ada yang menjadi ketua panitia,penerima tamu tertentu, penerima tamu biasa dan seterusnya (contoh konkritnya seperti pernikahan Ibas dan Aliya). Dengan kata lain manusia Indonesia itu terbiasa dengan pengkotak-kotakkan dalam fungsi dan derajatnya sebagai karyawan dan juga sebagai pelayan “Bapak” seperti lazimnya dalam sistem feodalisme.
PANDANGAN THOMAS AQUINAS TENTANG MASYARAKAT FEODAL[4]
Selama berabad-abad, dasar pemikiran sosial gereja adalah keyakinan bahwa adanya lembaga-lembaga penaklukkan itu merupakan hukuman bagi kejatuhan Adam dan Hawa serta akibat perilaku angkara yang dilakukan semua anak cucu mereka. Atas rahmat Tuhan para raja di tempakan diatas orang-orang lain dengan tujuan mengusir angkara. Namun, lambat-laun, konsepsi yang agak berbeda bisa diterima: pandangan bahwa ciri-ciri utama tatanan sosial feudal adalah akibat dari aturan ilahi dan bukan sekedar hukuman atas ketidaktaatan manusia. Dalam pandangan ini, keputusan orang-orang terhadap majikan, lord, dan Raja adalah sesuatu yang alami dan benar, asalkan itu berlangsung dalam batas-batas tertentu. Jika tidak,  maka hal itu menjadi tidak alami dan tidak benar. Pendapat ini mendapatkannya yang paling menyeluruh pada filsafat sosial Thomas Aquinas, yang karya besarrnya, yakni Summa Theologica (1265-73), menjadi ajaran resmi gereja.
TANGGAPAN ATAS PEMIKIRAN THOMAS AQUINAS (ANALISIS)
Berdasarkan pemikiran dari Thomas Aquinas ini, saya sangat setuju bahwa tatanan masyarakat feodal yang ada dalam masyarakat merupakan akibat dari aturan/hukum ilahi dan bukan sekedar hukuman atas ketidaktaatan manusia. Dengan demikian para penguasa seperti bangsawan, Raja dan masyarakat kecil merupakan sesuatu yang alami dalam kehidupan masyarakat. Pada hakekatnya, sesuatu kelompok orang akan dikatakan sebagai masyarakat apabila didalamnya terdapat hirarki yakni adanya Raja (penguasa, bangsawan) dan masyarakat kecil (petani, buruh dll). Semuanya ini dapat dikatakan benar apabila berjalan/berlangsung sesuai dengan batas-batas tertentu.
Namun dalam aspek ekonomi, saya agak berseberangan dengan pemikiran Thomas Aquinas tentang hukum/aturan alami yang terjadi dalam kehidupan masyrakat. Realita yang terjadi dalam kehidupan masyarakat justru menunjukkan bahwa praktek hirarki antara Raja, penguasa, bangsawan dan masyrakat kecil telah merusak dan mengancam stabilitas dalam kehidupan bersama. Sistem yang demikian menjadikan masyarakat kecil (buruh dan petani) terus menderita sepanjang masa, karena yang kaya akan tetap kaya sedangkan yang miskin akan tetap miskin. Padahal manusia tidak ditakdirkan dan diciptakan untuk hidup miskin dan menderita sepanjang hidup. Menurut pemikiran etis St Agustinus mengatakan bahwa Allah Sang Pencipta itu telah menciptakan semua dengan baik. Sedangkan menurut Hobbes mengatakan bahwa manusia itu setara: variasi individual dalam hal kekuatan dan rasionalitas tidak penting bila dilihat dalam sudut pandang mempertahankan hidup.[5] Dengan demikian, menurut saya bahwa dalam masyarakat sistem hirarki itu sangat andil, tetapi setiap individu harus diberikan kebebasan untuk mengatur dan mengelolah hidupnya sendiri. Para penguasa (Raja, bangsawan), seharusnya memberikan perlindungan terhadap masyarakat kecil bukan menjadikan masayarakat sebagai obyek.
Selain itu juga, masyarakat harus mulai meninggalkan feodalisme dan mengganti dengan budaya egaliter dimana setiap masyarakat mempunyai kedudukan yang sama. Sehingga tidak ada lagi keharusan untuk selalu mengikuti atasan dan dengan begitu ide, gagasan serta kreatifitas individu dapat terlihat tanpa harus takut, rikuh dengan atasan, senior atau penjabat. Masyarakat harus mulai berani menonjolkan diri tanpa rasa takut atau segan dengan atasan. Dengan hal itu maka kemampuan dari masing-masing individu dapat terlihat dengan maksimal. Selain menumbuhkan budaya egaliter, juga harus menumbuhkan rasa percaya diri. Masyarakat harus percaya diri dengan kemampuan yang dimiliki tanpa harus merasa minder dengan senior, ataupun atasan.
FEODALISME VERSUS SISTEM DEMOKRASI INDONESIA
Dalam masyarakat dunia modern yang menjunjung tinggi demokrasi, tentu nilai-nilai kesetaraan yang menjadi makna lain dari demokrasi, telah menutup ruang bagi timbulnya nilai-nilai feodalistik. Begitu juga dengan semangat yang terkandung dalam falsafah bangsa Indonesia, Pancasila. Nilai ini terkandung dalam sila ke-2, kemanusiaan yang adil dan beradab dan sila ke-5, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi, telah menutup ruang bagi tradisi feodalisme dengan mengedepankan kesetaraan setiap warga negara.
Disadari atau tidak, feodalisme masih ada dalam sebuah negara demokrasi seperti Indonesia. Feodalisme yang eksis di sebuah negara monarki bertransformasi menjadi neo feodalisme yang wujud di sebuah negara demokrasi dengan membawa nilai-nilai feodal yang menciptakan paradoksi demokrasi. Dalam sebuah negara demokrasi dengan tradisi feodal, ditandai dengan terbentuknya faksi-faksi, hal ini terlihat jelas dalam pemerintahan yang didominasi oleh faksi kepentingan elit politik. Elit politik inilah yang memainkan alur kebijakan, membawa kepentingan kelompoknya dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat.
Tradisi feodal lain yang diwariskan adalah dengan pemberian ruang kekuasaan atau akses-akses terhadap sumber ekonomi berdasarkan ikatan primordial, emosional dan kelompok-kelompok tertentu. Menurut Ben Anderson, seorang Indonesianis, ia melihat bahwa tradisi para politikus menyiapkan putra-putri mereka dalam mengganti posisi mereka merupakan cerminan feodalisme. Mereka hanya mampu menumpang ketenaran orangtua atau suami mereka, meskipun mereka berotak “ayam”. Sesungguhnya tradisi-tradisi feodalisme yang ada dalam sistem demokrasi Negara Indonesia menimbulkan dua hal (relevansinya) yakni:
1. KORUPSI
Korupsi dari hari ke hari makin menjadi berita aktual dalam berbagai media massa. Meski usianya sudah tua, setua peradaban manusia, perilaku korupsi ternyata tidak juga berkurang, bahkan semakin merajalela. Korupsi, makin terang-terangan dilakukan. Bukan hanya perindividu saja yang melakukannya, namun saat ini juga marak korupsi secara bersama-sama. Satu kelompok masyarakat tertentu melakukan korupsi secara bersama dan besar-besaran.
Di Indonesia, praktek korupsi bersama banyak terjadi. Praktek korupsi berawal dari proses pembiaran, akhirnya menjadi kebiasaan dan berujung kepada sesuatu yang sudah terbiasa untuk dikerjakan oleh pejabat-pejabat negara. Sehingga masyarakat menjadi pesimis dan putus asa terhadap upaya penegakan hukum untuk menumpas koruptor. Dalam perkembangannya, korupsi menjadi sebuah masalah ekonomi yang berakar pada struktur sosial-politik masyarakat Indonesia. Dalam paham feodalisme, penyimpangan yang kerap terjadi merupakan penyalahgunaan kekuasaan. “Penyalahgunaan kekuasaan, terutama korupsi, masih sangat merajalela. Bukannya berkurang, tetapi malah justru menguat” (Kompas, Minggu 9 Mei 2010). Salah satu akar utama dari penyalahgunaan itu adalah sistem feodalisme. Dalam sistem feodalisme itu, otomatis siapa saja yang memiliki kekuasaan menjadi merasa memiliki hak-hak khusus. “Salah satu sumber penyebabnya adalah struktur masyarakat dan paham kita yang masih feodal. Dalam sistem feodal, jika kita punya kekuasaan, kita juga merasa punya hak-hak tersendiri. Salah satu ekspresinya melalui penyalahgunaan wewenang,” ungkapnya.
Korupsi bukanlah sebuah masalah moral semata. Suburnya praktek korupsi tidak tidak terlepas dari struktur politik kekuasaan yang memberikan ruang untuk munculnya masalah tersebut. Salah satu di antara banyak faktor yang berperan menyuburkan korupsi adalah "sentralisme kekuasaan", atau struktur pemerintahan yang memusatkan kekuasaan di tangan segelintir elit saja. Pimpinan Umum Harian Kompas, Jakob Oetama, dalam seminar "Korupsi yang Memiskinkan", di Jakarta, Senin (21/2) menyatakan salah satu sumber korupsi di Indonesia adalah feodalisme. "Feodalisme memberikan privilege, hak istimewa bagi penguasa," kata Jakob. Harus diakui, maraknya korupsi di tanah air bisa menciptakan hidup bersama di Indonesia menjadi busuk. Pasalnya, korupsi tak hanya membusukkan para pelakunya, tetapi juga seluruh kinerja, maksud, dan tujuan sebuah institusi yang menjadi prasyarat mutlak hidup bersama. Struktur dan anatomi korupsi di Indonesia sudah berurat berakar sejak lama.
2. KEMISKINAN
Indonesia merupakan Negara yang kaya akan sumber daya alam. Namun ternyata kekayaan tidak bisa membuat bangsa ini keluar dari kemiskinan. Masih banyak masyarakatyang hidup dalam kemiskinan. Kemiskinan ini disebabkan selain karena faktor struktural yang tidak memberi kesempatan masyarakat untuk mengakses sektor-sektor kehidupan, namun juga disebabkan oleh nilai-nilai budaya yang dinut leh masyarakat. salah satunya adalah budaya feodalisme, dimana masyarakat selalu berorientasi ke atasan, senior, dan pejabat untuk dimintai restunya ketika akan melakukan kegiatan atau usaha. Budaya ini mengakibatkan masyarakat menjadi terkungkung, kurang kreatif karena selalu menurut pada atasan. Akibatnya yang mendapatkan keuntungan hanya kelas atas yang jumlahnya sedikit, sementara kelompok bawah yang mayoritas tidak mendapat apa-apa dan akan selalu hidup dalam keterbatasan. Kehidupan suatu masyarakat tidak akan lepas dari adanya masalah-masalah. Masalah yang menjadi perhatian dalam kehidupan modern ini adalah kemiskinan. Kemiskinan menjadi “hantu” yang terus membayangi kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat dan bangsa. Keadaan miskin ini menjadi suatu masalah sosial yang memang menjadi bagian masyarakat di seluruh dunia.
Indonesia merupakan Negara yang kaya akan sumber daya alam (konkritnya di tanah Papua). Namun ternyata kekayaan tidak bisa membuat bangsa ini keluar dari kemiskinan. Masih banyak masyarakat yang hidup dalam kemiskinan. Kemiskinan ini disebabkan selain karena faktor struktural yang tidak memberi kesempatan masyarakat untuk mengakses sektor-sektor kehidupan, namun juga disebabkan oleh nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat. Salah satunya adalah budaya feodalisme, dimana masyarakat selalu berorientasi ke atasan, senior, dan pejabat untuk dimintai restunya ketika akan melakukan kegiatan atau usaha. Budaya ini mengakibatkan masyarakat menjadi terkungkung, kurang kreatif karena selalu menurut pada atasan. Akibatnya yang mendapatkan keuntungan hanya kelas atas yang jumlahnya sedikit, sementara kelompok bawah yang mayoritas tidak mendapat apa-apa dan akan selalu hidup dalam keterbatasan. Kehidupan suatu masyarakat tidak akan lepas dari adanya masalah-masalah. Masalah yang menjadi perhatian dalam kehidupan modern ini adalah kemiskinan. Kemiskinan menjadi hantu yang terus membayangi kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat dan bangsa. Keadaan miskin ini menjadi suatu masalah sosial yang memang menjadi bagian masyarakat di seluruh dunia.
KESIMPULAN
Berdasarkan pokok-pokok bahasan diatas dapat disimpulkan bahwa sistem feodalisme yang terjadi di Negara-negara Eropa memberikan dapak bagi Negara Indonesia. Perkembangan feodalisme di Indonesia telah merusak dan mengancam nilai-nilai demokrasi. Para penguasa dan kaum elite menggunakan kekuasaannya untuk melakukan apa saja yang dikehendaki. Menurut Thomas Aquinas, sistem feodalisme yang ada dalam masyarakan merupakan suatu hukum alami. Pemikiran ini, mendapatkan tanggapan dari saya bahwa setiap manusia tidak diciptakan atau ditakdirkan untuk terus hidup menderita. Apabila sistem feodalisme dipandang sebagai hukum alami berarti dalam kehidupan bersama yang kaya akan tetap kaya dan yang miskin akan tetap miskin, padahal Allah Sang Pencipta telah menciptakan semua dengan baik. Dalam Negara demokrasi seperti Negara Indonesia, sistem feodalisme memainkan peranan penting dalam berbagai hal (politik, kekuasaan dll). Dengan demikian, sistem feodalisme ini melahirkan korupsi yang terus saja terjadi dan kemiskinan yang berkepanjangan.







[2] Fink Hans, Filsafat Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 1981. (Dalam hasil ringkasan kel. 1) Hal 1-2.
[3] Ibid.,Fink Hans (Dalam ringksan kel 1). Hal 2
[4] http://userperpustakaan.blogspot.com/2011/04/pemikiran-thomas-aquinas-tentang.html

[5] Op.cit.,Fink Hans (Dalam ringkasan kel.1). Hal 7-8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar